Selamat Datang di Blog Wartawan Pengadilan -- Menyajikan Informasi Hukum, Kriminal, Nasional secara Online -- Email: wartawanpengadilan@yahoo.com

UU Pers Perlu Direvisi


JAKARTA - Untuk menghindari debat atau pro dan kontra atas isu ”kriminalisasi pers”, sebaiknya Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers direvisi. Undang-undang tersebut belum memuat delik fitnah atau menyatakan kebohongan, pencemaran nama baik, dan penghinaan.

”Sebetulnya yang diperlukan adalah kepastian hukum dengan adanya unifikasi produk hukum yang mengatur perbuatan materiil tentang fitnah atau pencemaran nama baik yang mengikat bagi aparat penegak hukum karena penyidik dan penuntut umum tidak boleh membuat penafsiran sendiri terhadap aturan hukum positif yang berlaku,” tutur Kepala Biro Penerangan Umum Hubungan Masyarakat Mabes Polri Brigjen (Pol) Untung Yoga Ana dalam diskusi panel yang diselenggarakan Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Cabang Provinsi DKI Jakarta di Jakarta, Jumat (11/3).

Pembicara lain dalam diskusi panel tersebut adalah Ketua Pengadilan Negeri/Niaga/ HAM/Tipikor Jakarta Pusat Syahrial Siddik, Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung Noor Rachmad, dan Wakil Ketua Dewan Pers Bambang Harymurti.

Dalam prinsip praktik penegakan hukum, menurut Untung Yoga Ana, penyidik Polri tidak dibenarkan melakukan penafsiran sendiri atas klausul hukum positif yang ada. Ketentuan dalam UU sejauh tidak bertentangan, satu sama lain tidak boleh saling mengabaikan atau meniadakan.

Penjelasan umum UU No 40/1999 tentang Pers pada paragraf ketujuh menyatakan, ”Untuk menghindari pengaturan yang tumpang tindih, Undang-Undang ini tidak mengatur ketentuan yang sudah diatur dengan ketentuan Peraturan Perundang-Undangan lainnya”.

Dalam penjelasan Pasal 12 antara lain dijelaskan ”Sepanjang menyangkut pertanggungjawaban pidana menganut ketentuan perundang-undangan yang berlaku”.

Dalam hal ini, UU No 40/1999 tentang Pers yang terdiri dari 10 bab dan 21 pasal sama sekali tidak mengatur delik fitnah atau menyatakan kebohongan, pencemaran nama baik, dan penghinaan. Delik pidana ini diatur dalam Pasal 310, 311 dan 315 KUHP.

Di dalam UU Pers tidak ada pasal atau klausul yang mengatur secara khusus tentang prosedur atau mekanisme penyelesaian kasus yang menyangkut pers. Dalam UU tersebut, juga tak ada pengaturan yang menegaskan bahwa masyarakat yang mempunyai persoalan dengan pers harus terlebih dahulu menempuh tahapan langkah menggunakan hak jawab, melapor ke Dewan Pers, sebelum menuntut secara pidana.

”Undang-Undang Pers itu delik umum dan membuka ruang bagi UU lain. Kalau saja wartawan dalam melaksanakan tugasnya berdasarkan kode etik jurnalistik dan UU Pers, tidak akan pernah tersangkut masalah hukum,” kata Noor Rachmad.
Read More...

Pers Berperan dalam Pembangunan Jakarta


JAKARTA - Peran pers dalam pembangunan di Ibu Kota Jakarta tidak perlu disangsikan lagi. Pers saat ini telah menjadi penghubung antara pemerintah dengan masyarakat. Tanpa adanya pers, apapun hasil yang telah dikerjakan pemerintah tidak akan pernah diketahui masyarakat. Tentunya diharapkan ke depan sinergi antara pers dengan pemerintah terus dijaga sehingga kemitraan tersebut tetap terjalin hangat.

"Peran pers sangat besar, salah satunya dalam membantu Pemprov DKI, menyampaikan berbagai pembangunan yang dilakukan kepada masyarakat," kata Fauzi Bowo, Gubernur DKI Jakarta, saat acara Malam Anugerah Jurnalistik MH Thamrin-PWI Jaya, di Balai Kota DKI, Kamis (15/7) malam.

Pers menjadi bagian yang tidak terpisahkan dalam pembangunan Jakarta. Melalui liputan-liputan kota yang dilakukan, pers membuat warga semakin mengenal kota mereka. Hal ini pula yang tidak perlu disanksikan lagi oleh semua pihak.

Gubernur mengatakan, saat ini banyak warga Jakarta yang tidak mencintai kota dan tidak bertanggung jawab atas kehidupan kotanya. Contohnya terlihat dalam berbagai tindakan yang mengotori kota, tidak disiplin berlalu-lintas, dan aktivitas-aktivitas lain yang membuat kota menjadi semakin kotor dan semrawut. Semua itu dapat diubah apabila insan pers mampu menyuguhkan liputan-liputan perkotaan yang memberi inspirasi bagi warga kota. Pers juga harus mampu menyuguhkan berita-berita berkualitas agar warga mendapat informasi yang akurat dan berimbang.

"Kalau ada lebih dari setengah warga Jakarta mencintai kotanya dan menjadi warga yang bertanggung jawab, Kota Jakarta akan maju pesat. Pers perlu bahu membahu dengan Pemprov DKI untuk menggalang dukungan dari semua pemangku kepentingan guna membangun Jakarta," tutur Fauzi Bowo.

Penasehat Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Pusat, DH Assegaf, mengatakan, untuk menciptakan warga yang bertanggung jawab, pers harus mampu menyeleksi berita negatif agar tidak ditiru oleh anggota masyarakat lainnya. Berita bunuh diri, misalnya, harus dikemas sebaik mungkin agar tidak ditiru oleh masyarakat lainnya. "Pada zaman saya, peristiwa bunuh diri hampir tidak ada. Saat ini, peristiwa bunuh diri sangat tinggi dan cenderung berulang. Perlu ada perlakuan khusus bagi berita bunuh diri agar tidak ditiru oleh orang lain," kata DH Assegaf.

Sedangkan Ketua PWI Jaya, Kamsul Hasan, mengatakan, untuk dapat memberi pencerahan ke masyarakat, insan pers harus mampu menghasilkan karya berkualitas dan sesuai kode etik jurnalistik. Selama ini, masih banyak karya jurnalistik yang belum memenuhi kode etik.

Saat ini, PWI Jaya juga berniat merangkul lebih banyak pekerja infotainment agar dapat menyuguhkan berita yang berimbang dan sesuai kode etik jurnalistik bagi masyarakat. Infotainment ditonton oleh sekitar 10 juta warga Indonesia, terutama ibu-ibu dan remaja putri. "Tayangan infotainment tidak dapat dilarang. Lebih baik kita merangkul lebih banyak pekerja infotainment agar dapat diberi pelajaran mengenai kode etik jurnalistik,” kata Kamsul

Sekadar diketahui, dalam Malam Anugrah Jurnalistik MH Thamrin 2010 ini, sedikitnya ada enam kategori yang diikutsertakan. Yakni, foto jurnalistik, karikatur, liputan televisi, artikel pelayanan publik, artikel umum, tajuk rencana. Para pemenang dalam kegiatan kali ini, yakni Kompas mendapat satu anugerah untuk kategori karikatur terbaik atas nama GM Sidharta.

Kategori foto terbaik dimenangkan oleh Ferry Pradolo dari Indopos, kategori artikel pelayanan publik terbaik dimenangkan Nur Hakim dari Harian Pelita, kategori siaran televisi terbaik dimenangkan Tony Hartawan dari TPI, kategori artikel umum terbaik dimenangkan Syaiful Rizal dari Sinar Harapan dan kategori tajuk rencana terbaik dimenangkan Harian Suara Karya.
Read More...

Penghargaan PWI Jaya untuk Komjen Susno


JAKARTA, KOMPAS — Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Jaya memberikan penghargaan NEWS MAKER kepada Komjen Susno Duadji lantaran menjadi pusat pemberitaan setelah mengungkap adanya praktik mafia kasus di Mabes Polri. Penghargaan itu adalah untuk keempat kali yang diberikan PWI Jaya.

"Menurut ukuran PWI Jaya, orang yang diberitakan luar biasa, materi yang diberikan juga berdampak luar biasa. Susno sudah ungkapkan markus di Polri," ucap Ketua PWI Jaya Kamsul Hasan, saat memberikan penghargaan di Mabes Polri, Selasa (11/5/2010). Penghargaan itu diterima oleh istri Susno, Herawati.

Kamsul mengatakan, penghargaan ini telah disiapkan PWI Jaya sejak tiga bulan lalu. Awalnya, penghargaan itu akan diserahkan langsung kepada Susno di Gedung PWI Jaya hari ini. Namun, rencana itu batal karena Susno ditetapkan tersangka terkait kasus penangkaran arwana di Riau.

"PWI tidak peduli Susno terlibat atau tidak. Menurut kami, mau dia di luar atau di dalam, upaya membongkar markus ini perlu dapat penghargaan. Kita berikan sekaligus mendorong pada masyarakat untuk mengungkap hal-hal yang negatif seperti Pak Susno," tegas dia.

Sebelumnya, PWI Jaya telah memberikan penghargaan serupa kepada Denny JA, Pansus Hak Angket Bank Century, dan anggota DPR Bambang Soesatyo.

Herawati mengucapkan terima kasih dan memohon maaf karena penghargaan tidak bisa diterima langsung oleh suaminya. "Terima kasih dukungan semua media yang telah meliput Bapak, setiap saat setiap waktu. Mohon dukungan dan terima kasih," kata dia singkat. @ KOMPAS.com
Read More...

PERS DITUNTUT PERBAIKI DIRI


Jakarta (ANTARA News) - Ketua Umum Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Pusat Margiono mengatakan, pers di masa sekarang dituntut untuk selalu melakukan perbaikan diri untuk menyesuaikan dengan perubahan zaman, dengan tetap memegang teguh profesionalisme dan bertanggung jawab.

Saat memberikan sambutan dalam acara penyerahan Kartu Pers Nomor Satu (Press Card Number One) dan Orasi Pena Emas oleh Tarman Azzam di Jakarta, Selasa, Margiono mengatakan, pers di Indonesia mengalami pertumbuhan yang pesat.

"Di salah satu sisi pertumbuhan tersebut memberikan perkembangan yang baik, tetapi di sisi lain memprihatinkan. Pers tumbuh pesat tetapi tidak didasari dengan profesionalisme, tidak memberikan ruang selektif untuk tumbuhnya pers yang sehat," katanya.

Di hadapan insan pers yang hadir, Margiono mengatakan, banyak sekali media yang muncul di masyarakat tetapi tidak semua didasari dengan profesionalitas jurnalisme yang memadai.

Kondisi ini, katanya, tentu memprihatinkan di tengah perjuangan mewujudkan kemerdekaan pers.

Untuk itu, ia menilai perlu ada langkah khusus yang diambil agar pertumbuhan ini menjadi sehat.

Ia menjelaskan, salah satu upaya yang dilakukan PWI yakni dengan meratifikasi standar perusahaan pers, standar kompetensi wartawan, perlindungan wartawan dan kode etik.

Sementara itu, dalam acara tersebut, Ketua Komisi Penelitian Pendataan dan Ratifikasi Pers di Dewan Pers periode 2010-2013, M. Ridlo 'Eisy, mengingatkan tentang peran media sebagai penyebar informasi yang bermutu dan berimbang.

"Teman pers seharusnya tidak menyebarkan berita 'beracun', di mana tidak ada fakta di dalamnya dan hanya bersifat provokasi saja. Jangan sebarkan berita-berita yang 'beracun'," pesannya.

Penerima anugera Pena Emas Tarman Azzam dalam orasinya mengatakan, pers haruslah berpihak pada rakyat, menghormati hukum dan etika profesi serta nilai-nilai nasional.

Selain itu, katanya, pers dituntut untuk konsisten melakukan kontrol internal dan siap untuk dikontrol oleh publik.

Dalam peringatan Hari Pers Nasional (HPN) 2010, Masyarakat Pers Indonesia memberikan penghargaan Kartu Pers Nomor Satu pada 83 tokoh yang berprestasi dalam dunia pers.

Penghargaan itu merupakan bentuk pengakuan kepada insan pers yang telah menunjukkan kinerja profesional, berintegritas tinggi, berdedikasi, serta pengorbanan pada dunia pers dan kemerdekaan pers selama tahun-tahun pengabdiannya.

Pemberian penghargaan ini menyimbolkan upaya masyarakat pers untuk memperlihatkan orang-orang yang patut menjadi teladan dengan prestasi yang mereka capai, dan dengan harapan agar dapat menjadi inspirasi bagi generasi muda insan pers.

Penerima Kartu Pers Nomor Satu ini di antaranya adalah Rosihan Anwar, Jakob Oetama, Herawaty Diah, Goenawan Mohamad, Dahlan Iskan, Tribuana Said, Sabam Siagian, DH Assegaf, Atmakusumah, Ishadi SK, Hendro Subroto, Remy Silado, Maria Hartiningsih, Karni Ilyas, Parni Hadi, Desi Anwar, dan Bambang Harimurty.

Selain itu, Abdullah Alamudi, Sumita Tobing, Toeti Adhitama, Uni Lubis, Widarti Goenawan, Lukman Setiawan, Saur Hutabarat, Ilham Bintang, Sabam Leo Batubara, Rosiana Silalahi, Arswendo Atmowiloto, Trias Kuncahyono, dan Wina Armada.

Margiono berharap tokoh-tokoh tersebut menjadi figur panutan bagi jurnalis muda saat ini dan memberikan contoh yang baik.

"Kita ingin agar aset jurnalis hebat ini dapat ditularkan, dapat dicontoh keperintisannya dan kepeloporannya," katanya. (*)
Read More...

LBH PERS


Pers Indonesia Masih Rawan Ancaman Kekerasan
Rabu, 30 Desember 2009 | 13:16 WIB

JAKARTA, KOMPAS.com — Pers Indonesia masih rentan akan ancaman kekerasan, demikian disampaikan Direktur Eksekutif Lembaga Bantuan Hukum Pers Hendrayana pada catatan akhir tahun 2009 LBH Pers di Jakarta, Rabu (30/12/2009).

Dalam temuan LBH Pers, kekerasan fisik yang menimpa wartawan semakin memprihatinkan. Temuan LBH Pers berdasarkan monitoring yang diambil dari sampling 18 media online nasional dan 5 media cetak nasional menunjukkan, kebebasan pers di Indonesia semakin mendapat ancaman serius.

Menurut LBH Pers, selama tahun 2009, kasus yang berkaitan dengan pers mengalami kenaikan signifikan dari tahun sebelumnya. Pada 2008, bentuk kekerasan fisik terhadap jurnalis sebanyak 10 kasus dan nonfisik sebanyak 7 kasus. Sementara pada 2009, bentuk kekerasan fisik yang menimpa jurnalis sebanyak 33 kasus dan nonfisik sebanyak 38 kasus.

"Kasus-kasus pers dalam bentuk kekerasan, gugatan, dan pemidanaan masih kerap terjadi, bahkan menunjukkan peningkatan, terutama dalam bentuk kekerasan fisik dan nonfisik. Peran lembaga-lembaga profesi jurnalis Dewan Pers termasuk lembaga bantuan hukum telah berusaha secara optimal, namun tetap kewalahan menghadapi berbagai kasus-kasus yang terjadi," ucap Hendrayana.

Selama 2009, jumlah kasus kekerasan fisik tercatat sebanyak 33 kasus. Kekerasan fisik ini bersifat penganiayaan, dalam bentuk pemukulan, pelemparan, atau pengeroyokan maupun pembunuhan.

"Contohnya kasus pembunuhan wartawan harian Radar Bali, Anak Agung Gede Prabangsa yang dibunuh karena pemberitaannya terkait dengan dugaan penyimpangan dalam proyek di Dinas Pendidikan Bangli," ucap Hendrayana.

Frekuensi kekerasan fisik yang dialami pers berkaitan atau bersentuhan langsung dengan pemberitaan ataupun siaran peliputan yang dibuat oleh wartawan. Berikut data yang diberikan oleh LBH Pers: kekerasan fisik yang dilakukan TNI 3 kasus, polisi 1 kasus, massa 10 kasus, aparat pemerintah 1 kasus, anggota parlemen 1 kasus, partai politik 3 kasus, preman 2 kasus, LSM/ormas 1 kasus, aparat keamanan 7 kasus, mahasiswa 1 kasus, penasihat hukum 1 kasus, dan pengusaha 1 kasus.

Data ini menunjukkan, masyarakat dan polisi merupakan pelaku dominan kekerasan pers selama tahun 2009. Sementara TNI, aparat pemerintah, anggota parlemen, mahasiswa, dan tak dikenal/preman menjadi pihak yang turut mengancam kebebasan pers.

Tingginya angka kekerasan fisik yang dilakukan oleh masyarakat menunjukkan bahwa masyarakat belum memahami tugas dan fungsi pers sebagaimana diatur Undang-Undang Pers No 40 Tahun 1999.

Untuk kekerasan nonfisik selama tahun 2009, LBH Pers mencatat ada sebanyak 38 kasus. Kekerasan nonfisik ini kerap terjadi di lapangan dalam bentuk larangan peliputan, penghapusan hasil rekaman berita, dan ancaman atau teror yang ditujukan kepada direktur perusahaan media maupun wartawan yang bersangkutan.

Di samping itu, kekerasan nonfisik yang paling mengancam kebebasan pers adalah pelaporan secara hukum melalui pemberitaan atau peliputan yang dianggap sebagai upaya pencemaran nama baik atau upaya yang mengarah pada perbuatan tidak menyenangkan.

Hendrayana menjelaskan, untuk menekan angka kekerasan fisik dan nonfisik terhadap para jurnalis, LBH Pers pada tahun 2010 akan melakukan penyadaran hukum kepada masyarakat. "Kami akan mengadakan workshop untuk mahasiswa, masyarakat umum agar mereka nantinya akan melek hukum dan melek pers," ucap Hendrayana.
Read More...

KEKERASAN DAN DEFAMASI HANTUI PERS INDONESIA


Ditulis oleh AJI Indonesia
Senin, 04 Mei 2009 10:29

Jakarta, 3 Mei 2009. Kekerasan masih menjadi ancaman bagi kebebasan pers di Indonesia, disamping peradilan dan regulasi. Demikian catatan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia dalam Laporan Kebebasan Pers 2009.

Kekerasan masih merupakan hambatan utama bagi jurnalis Indonesia. Sepanjang Mei 2008 hingga Mei 2009, terdapat 44 kasus kekerasan. Kekerasan tersebut terdiri dari kekerasan fisik dan kekerasan verbal. Bentuk kekerasan fisik yang paling banyak adalah pemukulan (19 kali). Sedang kekerasan verbal yang paling sering terjadi adalah ancaman (9 kali) dan larangan meliput (8 kali) serta perampasan alat (7 kali). Disampig itu, terjadi satu kasus pembunuhan dan penyanderaan.

Kekerasan paling sering terjadi di Jakarta (6 kali), Sulawesi Selatan (5 kal Maluku Utara, Riau (meliputi juga Kepulauan Riau) dan Jawa Timur (masing-masing terjadi 4 kali), Jawa Barat, Sumatera Utara dan Papua (meliputi Irian Jaya Tengah) (masing-masing terjadi 3 kali).

Pelaku kekerasan paling banyak adalah polisi (12 kali), pejabat sipil (7 kali), dan tentara (5 kali). Disamping itu terjadi kekerasan oleh massa pendukung calon gubernur dan buruh (masing-masing 3 kali), oleh mahasiswa, pengusaha dan preman (masing-masing 2 kali).

Motivasi kekerasan tersebut paling banyak karena pelaku tidak ingin jurnalis meliput suatu peristiwa tertentu (34 kali), pelaku kecewa dengan hasil liputan jurnalis (5 kali) dan ingin jurnalis mengungkap identitas narasumber yang dirahasiakan (2 kali).

Sementara itu, tindakan hukum juga menjadi hambatan terhadap kekebasan pers. Tindakan hukum tersebut meliputi pemidanaan dan gugatan perdata. Sepanjang Mei 2008 sampai Mei 2009, terdapat 13 kasus hukum yang sedang diadili di berbagai tingkat peradilan. Semua kasus hukum tersebut merupakan kasus hukum pencemaran nama baik (defamation law), baik itu pidana (criminal defamation) maupun perdata (civil defamation).

Laporan Kebebasan Pers dibuat AJI untuk menyambut Hari Kebebasan Pers Sedunia pada 3 Mei. Laporan lebih lengkap akan disampaikan Ketua AJI pada perayaan World Press Freedom Day di Jakarta Media Center/Kompleks Dewan Pers Jl. Kebon Sirih No. 32-34, Jakarta Pusat pada tanggal 6 Mei 2009 pukul 11.00 WIB sampai selesai.
Read More...

PERS INDONESIA DARI ZAMAN KE ZAMAN


Pers Indonesia dari Zaman Hindia Belanda Sampai Masa Revolusi
”Medan Prijaji” Koran Politik Pribumi

Oleh : HARYADI SUADI

Orang tidak dapat membajangkan lagi sekarang, bagaimana sekiranja hidup kita ini, bilamana tidak ada surat kabar. (Parada Harahap “Kedudukan Pers Di Masjarakat” 1951)

BERBICARA perihal dunia pers di Indonesia, tentunya tidak bisa dipisahkan dari hadirnya bangsa Barat di tanah air kita. Memang tidak bisa dimungkiri, bahwa orang Eropa lah, khususnya bangsa Belanda, yang telah “berjasa” memelopori hadirnya dunia pers serta persuratkabaran di Indonesia. Masalahnya sebelum kehadiran mereka, tidak diberitakan adanya media masa yang dibuat oleh bangsa pribumi.

Tentang awal mula dimulainya dunia persuratkabaran di tanah air kita ini, Dr. De Haan dalam bukunya, “Oud Batavia” (G. Kolf Batavia 1923), mengungkap secara sekilas bahwa sejak abad 17 di Batavia sudah terbit sejumlah berkala dan surat kabar. Dikatakannya, bahwa pada tahun 1676 di Batavia telah terbit sebuah berkala bernama Kort Bericht Eropa (berita singkat dari Eropa). Berkala yang memuat berbagai berita dari Polandia, Prancis, Jerman, Belanda, Spanyol, Inggris, dan Denmark ini, dicetak di Batavia oleh Abraham Van den Eede tahun 1676. Setelah itu terbit pula Bataviase Nouvelles pada bulan Oktober 1744, Vendu Nieuws pada tanggal 23 Mei 1780, sedangkan Bataviasche Koloniale Courant tercatat sebagai surat kabar pertama yang terbit di Batavia tahun 1810.

Sejak abad 17 dunia pers di Eropa memang sudah mulai dirintis. Sekalipun masih sangat sederhana, baik penampilan maupun mutu pemberitaannya, surat kabar dan majalah sudah merupakan suatu kebutuhan bagi masyarakat di masa itu. Bahkan, para pengusaha di masa itu telah meramalkan bahwa dunia pers di masa mendatang merupakan lahan bisnis yang menjanjikan. Oleh karena itu, tidak heran apabila para pengusaha persuratkabaran serta para kuli tinta asal Belanda sejak masa awal pemerintahan VOC, sudah berani membuka usaha dalam bidang penerbitan berkala dan surat kabar di Batavia.

Kendati demikian, tujuan mereka bukan cuma sekadar untuk memperoleh keuntungan uang. Namun, mereka telah menyadari bahwa media masa di samping sebagai alat penyampai berita kepada para pembacanya dan menambah pengetahuan, juga punya peran penting dalam menyuarakan isi hati pemerintah, kelompok tertentu, dan rakyat pada umumnya. Apalagi, orang Belanda yang selalu mengutamakan betapa pentingnya arti dokumentasi, segala hal ihwal dan kabar berita yang terjadi di negeri leluhurnya maupun di negeri jajahannya, selalu disimpan untuk berbagai keperluan.

Dengan kata lain media masa di masa itu telah dipandang sebagai alat pencatat atau pendokumentasian segala peristiwa yang terjadi di negeri kita yang amat perlu diketahui oleh pemerintah pusat di Nederland maupun di Nederlandsch Indie serta orang-orang Belanda pada umumnya. Dan apabila kita membuka kembali arsip majalah dan persuratkabaran yang terbit di Indonesia antara awal abad 20 sampai masuknya Tentara Jepang, bisa kita diketahui bahwa betapa cermatnya orang Belanda dalam pendokumentasian ini.

Dalam majalah Indie, Nedelandch Indie Oud en Nieuw, Kromo Blanda, Djawa, berbagai Verslagen (Laporan) dan masih banyak lagi, telah memuat aneka berita dari mulai politik, ekonomi, sosial, sejarah, kebudayaan, seni tradisional (musik, seni rupa, sastra, bangunan, percandian, dan lain-lain) serta seribu satu macam peristiwa penting lainnya yang terjadi di negeri kita.

Tirtoadisuryo pelopor bebas buka suara

Sampai akhir abad ke-19, koran atau berkala yang terbit di Batavia hanya memakai bahasa Belanda. Dan para pembacanya tentu saja masyarakat yang mengerti bahasa tersebut. Karena surat kabar di masa itu diatur oleh pihak Binnenland Bestuur (penguasa dalam negeri), kabar beritanya boleh dikata kurang seru dan “kering”. Yang diberitakan cuma hal-hal yang biasa dan ringan, dari aktivitas pemerintah yang monoton, kehidupan para raja, dan sultan di Jawa, sampai berita ekonomi dan kriminal.

Namun memasuki abad 20, tepatnya di tahun 1903, koran mulai menghangat. Masalahnya soal politik dan perbedaan paham antara pemerintah dan masyarakat mulai diberitakan. Parada Harahap, tokoh pers terkemuka, dalam bukunya “Kedudukan Pers Dalam Masjarakat” (1951) menulis, bahwa zaman menghangatnya koran ini, akibat dari adanya dicentralisatie wetgeving (aturan yang dipusatkan). Akibatnya beberapa kota besar di kawasan Hindia Belanda menjadi kota yang berpemerintahan otonom sehingga ada para petinggi pemerintah, yang dijamin oleh hak onschenbaarheid (tidak bisa dituntut), berani mengkritik dan mengoreksi kebijakan atasannya.

Kritik semacam itu biasanya dilontarkan pada sidang-sidang umum yang diselenggarakan oleh pemerintah pusat atau daerah. Kritik dan koreksi ini kemudian dimuat di berbagai surat kabar dalam ruangan Verslaag (Laporan) agar diketahui masyarakat. Berita-berita Verslaag ini tentu saja menjadi “santapan empuk” bagi para wartawan. Berita itu kemudian telah mereka bumbui dan didramatisasi sedemikian rupa sehingga jadilah suatu berita sensasi yang menggegerkan. Namun, cara membumbui berita Verslaag semacam ini, lama-kelamaan menjadi hal biasa. Bahkan, cara-cara demikian akhirnya disukai oleh para pengelolanya karena bisa mendatangkan keuntungan dan berita sensasi memang disukai pembacanya.

Para petinggi pemerintah yang kena kritik juga tidak merasa jatuh martabatnya. Bahkan, ada yang mengubah sikapnya dan membuat kebijaksanaan baru yang menguntungkan penduduk. Keberanian menyatakan saran dan kritik ini akhirnya menular ke masyarakat. Tidak sedikit koran yang menyajikan ruangan surat pembaca yang menampung “curhat” tentang berbagai hal dari para pembacanya. Bahkan, setelah dibentuknya Volksraad (DPR buatan Belanda) pada tahun 1916, kritik yang menyerempet soal politik mulai marak.

Dunia pers semakin menghangat ketika terbitnya “Medan Prijaji” pada tahun 1903, sebuah surat kabar pertama yang dikelola kaum pribumi. Munculnya surat kabar ini bisa dikatakan merupakan masa permulaan bangsa kita terjun dalam dunia pers yang berbau politik. Pemerintah Belanda menyebutnya Inheemsche Pers (Pers Bumiputra). Pemimpin redaksinya yakni R. M. Tirtoadisuryo yang dijuluki Nestor Jurnalistik ini menyadari bahwa surat kabar adalah alat penting untuk menyuarakan aspirasi masyarakat. Dia boleh dikata merupakan bangsa kita yang memelopori kebebasan

Pers kaum pribumi

Sikapnya ini telah memengaruhi surat kabar bangsa pribumi yang terbit sesudah itu. Hal ini terbukti dari keberanian dia menulis kalimat yang tertera di bawah judul koran tersebut, Orgaan bagi bangsa jang terperintah di Hindia Olanda tempat membuka suaranja. Kata terperintah di atas konon telah membuka mata masyarakat, bahwa bangsa pribumi adalah bangsa yang dijajah. Boleh jadi Tuan Tirto terinspirasi oleh kebebasan berbicara para pembesar pemerintah tersebut di atas. Rupanya dia berpendapat, bahwa yang bebas buka suara bukan beliau-beliau saja, namun juga rakyat jelata alias kaum pribumi.

Hadirnya Medan Prujaji telah disambut hangat oleh bangsa kita, terutama kaum pergerakan yang mendambakan kebebasan mengeluarkan pendapat. Buktinya tidak lama kemudian Tjokroaminoto dari “Sarikat Islam” telah menerbitkan harian Oetoesan Hindia. Nama Samaun (golongan kiri) muncul dengan korannya yang namanya cukup revolusioner yakni Api, Halilintar dan Nyala. Suwardi Suryaningrat alias Ki Hajar Dewantara juga telah mengeluarkan koran dengan nama yang tidak kalah galaknya, yakni Guntur Bergerak dan Hindia Bergerak. Sementara itu di Padangsidempuan, Parada Harahap membuat harian Benih Merdeka dan Sinar Merdeka pada tahun 1918 dan 1922. Dan, Bung Karno pun tidak ketinggalan pula telah memimpin harian Suara Rakyat Indonesia dan Sinar Merdeka di tahun 1926. Tercatat pula nama harian Sinar Hindia yang kemudian diganti menjadi Sinar Indonesia.***

Penulis dosen Fakultas Seni Rupa dan Desain ITB (Instititut Teknologi Bandung) .
Read More...

LENSA Pengadilan

Video Gallery


ShoutMix chat widget